by Ibrahim Bafadal
Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah. Di beberapa negara terdapat berbagai istilah lain untuk manajemen berbasis sekolah (MBS), yaitu manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS), yaitu site-based management, delegated management, school otonomy, school-site management, school-Site Decision Making dan local management of school. Sejalan dengan peristilahan MBS tersebut juga ada istilah yang yang juga mengarah pada implementasi MBS, seperti anggaran sekolah mandiri (self-budgeting school), konseling peserta didik berbasis sekolah (school-based student counseling), pengembangan kurikulum berbasis sekolah (school-based curriculum development), dan pengembangan staf berbasis sekolah (school-based staff development.
Walaupun dengan berbagai istilah yang berbeda, secara keseluruhan mengarah kepada konsep desentralisasi pengelolaan pendidikan pada level sekolah atau pengelolaan secara mandiri oleh sekolah. Secara konseptual MBS dapat didefinisikan sebagai proses manajemen sekolah yang diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan, dengan mana secara otonomi direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan, dan dievaluasi sendiri oleh sekolah sesuai dengan kebutuhan sekolah dengan melibatkan semua stakeholder sekolah. Ada beberapa definisi MBS yang dikemukakan oleh para pakar manajemen pendidikan, sebagai berikut.
- Caldwell (1990) mendefinisikan MBS sebagai kewenangan pengalokasian sumber daya yang didesentralisasikan. Caldwell (1990) menegaskan School-site or school-based management … are all approaches tp the management of public schools or systemic private schools wherein there is significant and consistent decentralization to the school level of authority to make decisions related to allocation of resources, with resources defined broadly to include knowledge, technology, power, material, people, time and money … The school remains accountable to a central authority for the manner in which resources are allocated.
- Menurut Kathleen dan Kubick (1988), School-based management (SBM) is an alternative to the typical pattern of school district governance that centralizes authority in the district office. As John Lindelow and James Heynderickx (forthcoming) define it, SBM “is a system of administration in which the school is the primary unit of educational decision-making.” Responsibility for certain decisions about the budget, personnel, and the curriculum is placed at the school level rather than the district level, thereby giving especially principals but also teachers, students, and parents greater control over the educational process.
- Menurut Malen dan Kranz, MBS merupakan a formal alteration of governance structures, as a form of decentralization that identifies the individual school as the primary unit of improvement and relies on the redistribution of decision-making authority as the primary means through which improvements might be stimulated and sustained. Some formal authority to make decisions in the domains of budget, personnel and program is delegated to and often distributed among site-level actors. Some formal structure (council, committee, team, board) often composed ofprincipals, teachers, parents, and ad times, students and community residents is created so that site participants can be directly involved in school- wide decision making (Wahlstetter & Mohrman, 1994:56)
- Bank Dunia mendefinikn MBS sebagai the decentralization of levels of authority to the school level. Responsibility and decision-making over school operations is transferred to principals, teachers, parents, sometimes students, and other school community members. The school-level actors, however, have to conform to, or operate, within a set of centrally determined policies (2004, World Development Report, Making Services Work for Poor People).
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mengartikan MBS sebagai model manajemen yang memberi otonomi lebih besar pada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Secara operasional MBS dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses pendayagunaan keseluruhan komponen pendidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan yang diupayakan sendiri oleh kepala sekolah bersama semua pihak yang terkait atau berkepentingan dengan mutu pendidikan. Istilah “komponen” mencakup kurikulum dan pembelajaran, kesiswaan, kepegawaian, sarana dan prasarana, dan keuangan. Istilah “dikelola sendiri” adalah “self managing” berarti dirancang sendiri (self design atau self planning) diorganisasikan sendiri (self organizing), diarahkan sendiri (self direction), dan dikontrol/dievaluasi sendiri (self control). Sudah barang tentu kemandirian tersebu tidak dapat diartikan sebagai kebebasan penuh, sehingga tetap diperlukan adanya mekanisme kontrol dari pemerintah. Sedangkan yang dimaksud dengan “pihak terkait atau berkepentingan dengan mutu pendidikan” adalah kepala sekolah, guru, orang tua siswa, masyarakat sekitan sekolah, perusahan yang akan memakai lulusan sekolah. Sesuai dengan konsep tersebut, MBS itu pada hakikatnya merupakan pemberian otonomi kepada sekolah untuk secara aktif serta mandiri mengembangkan dan melakukan berbagai program peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah sendiri. Oleh karena sebagai pemberian otonomi, maka banyak sekali pakar manajemen pendidikan dari berbagai negara yang menyebut MBS sebagai otonomi sekolah, atau kewenangan yang didesentralisasikan tidak saja ke tingkat kabupaten dan kota, melainkan juga sampai ke sekolah. Oleh karena itu adanya upaya pemerintah pusat menggalakkan MBS harus dipahami dalam dua konteks. Pertama, bahwa dengan akan diterapkannya MBS di sekolah-sekolah, termasuk sekolah dasar, pada dasarnya ke depan akan terjadi peralihan dari pendekatan makro menuju pendekatan mikro, atau peralihan dari pendekatan yang sentralistik menuju district approach dan school approach, atau peralihan dari district otonomy (sentralistik) menuju school otonomy (desentralistik) dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Kedua, walaupun MBS mulai diperkenalkan ke sekolah-sekolah di Indonesia sekitar tahun 1997/1998, sebagaimana ditegaskan di muka, namun sebenarnya sekolah-sekolah swasta—disadari atau tidak—telah lama menerapkannya. Selama ini sekolah swasta berusaha mengelolanya secara mandiri. Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kualitas dan eksistensinya sekolah swasta berusaha meningkatkan kinerjanya secara mandiri, mencari cara-cara baru (kreativitas) sesuai dengan kondisi sekolahnya masing-masing, dan berusaha melibatkan masyarakat layanannya.
Karakteristik MBS. Konsisten dengan keseluruhan definisi dan penjelasan di atas Levacic (1995) mengedepankan tiga karakteristik kunci MBS, sebagai berikut: Pertama, kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan kepada para stakeholder sekolah. Kedua, domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yang didesentralisasikan mencakup keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, mencakup keuangan, kepegawaian, sarana dan prasarana, penerimaan siswa baru, dan kurikulum. Ketiga, walaupun keseluruhan domain manajemen peningkatan mutu pendidikan didesentralisasikan ke sekolah-sekolah, namun diperlukan adanya sejumlah regulasi yang mengantur fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab sekolah.
Sudah barang tertentu, bilamana MBS diterapkan dengan secara murni dan konsekuen, maka di sekolah tersebut akan tertampilkan sebagai berikut: (1) otonomi dalam pengelolaan sekolah, (2) kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional, (3) adanya keragaman dalam pola penggajian guru, (4) pemberdayaan guru dan staf secara optimal, (5) pengelolaan sekolah secara partisipatif, (6) sistem kerja didesentralisasikan sampai pada lini terbawah, (7) adanya kewenangan dalam menentukan pilihan dari aneka pilihan, (8) hubungan Kemitraan (Partnership) antara pendidikan dangan masyarakat, (9) akses tumbuh mandiri sangat terbuka bagi sekolah, (10) adanya team work yang tinggi dan professional. dan (11) sekolah diwarnai dengan jiwa kewirausahaan.
Tujuan dan manfaat MBS. Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2000) MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang, keluwesan, dan sumberdaya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan kemamdiriannya, maka diharapkan: (1) sekolah sebagai lembaga pendidikan yang lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya dapat mengoptimalkan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan sekolah; (2) sekolah dapat mengembangkan sendiri program-program sesuai dengan kebutuhannya; (3) sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah; dan (4) sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan. Levacic (1995) mengidentifikasi tiga tujuan manajemen berbasis sekolah, yaitu (1) efisiensi; (2) keefektifan; dan (3) tanggung jawab. Pertama, dengan manajemen berbasis sekolah, proses peningkatan mutu pendidikan akan berlangsung secara efisien, terutama dalam penggunaan sumberdaya manusia. Kedua, dengan manajemen berbasis sekolah, keefektifan peningkatan mutu pendidikan sekolah dasar dapat meningkat, melalui peningkatan kualitas proses pembelajaran. Ketiga, Dengan manajemen berbasis sekolah respon terhadap siswa lebih besar. Sedangkan The American Association of School Administration, The National Association of Elementary School Principal, & The National Association of Secondary School Principal pada 1988 mengidentifikasi enam manfaat MBS, yaitu: (1) mampu mengidentikasi dan meningkatkan keahlian dan kemampuan orang-orang yang bekerja di sekolah untuk dapat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan demi peningkatan kualitas pembelajaran, (2)melibatkan pihak internal dan eksteral dalam setiap pengambilan keputusan di sekolah, (3) meningkatkan moral keja (staf morale) guru-guru, (4) keputusan-keputusan strategis sekolah yang diambil oleh sekolah memiliki akuntabilitas, (4) adanya penyesuaian sumber-sumber keuangan terhadap tujuan instruksional yang dikembangkan di sekolah, (5) kaderisasi pemimpin baru di sekolah, dan (6) peningkatan kualitas, kuantitas, dan fleksibilitas komunikasi tiap komunitas sekolah dalam rangka mencapai kebutuhan sekolah sesuai dengan program (Kubick dan Kathlen, 1988).
Model MBS di beberapa Negara. Model penerapan di suatu negara MBS hanya menekankan satu atau beberapa aspek atau karakteristik. Penerapan MBS di Hongkong ditekankan inisiatif sekolah. Penerapan MBS di Nikaragua ditekankan pada pemberian otonomi kepada sekolah dalam hal personil, anggaran, kurikulum, dan pedagogi. Penerapan MBS Australia ditekankan pada pemberia kewenangan sekolah dalam pengembangan kurikulum, penggunaan sumber daya sekolah, dan pengelolaan kelas. Penerapan MBS di Kanada ditekankan pada pengambilan keputusan pada tingkat sekolah. Penerapan MBS di Amerika Serikat ditekankan pada pengelolaan sekolah di tingkat sekolah itu sendiri. Penerapan MBS di Inggris ditekankan pengelolaan dana pada tingkat sekolah. Penerapan MBS di Prancis ditekankan pada peningkatan partisipasi yang lebih besar pada badan pengelola sekolah. Penerapan MBS di Selandia Baru difokuskan pada anggaran yang berbasis di sekolah (School-Based Budget). Penerapan MBS di Indonesia lebih diarahkan pada partisipasi masyarakat, manajemen sekolah, dan pembelajaran yang aktif, kratif, efektif, dan menyenangkan.
Proses MBS. Telah ditegaskan di atas bahwa secara operasional MBS dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses pendayagunaan keseluruhan komponen pendidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan yang diupayakan sendiri oleh kepala sekolah bersama semua pihak yang terkait atau berkepentingan dengan mutu pendidikan. Oleh karena sebagai proses, maka implementasi MBS di sekolah melalui langkah operasional tertentu yang sistematis. Berikut.
- Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (2000) penerapan MBS disekolah itu melalui (1) penyusunan data dan profil sekolah yang komprehensif, akurat, valid dan sistematis; (2) melakukan evaluasi diri—menganalisis kelemahan dan kekuatan seluruh komponen sekolah; (3) mengidentifikasi kebutuhan sekolah, merumuskan visi, misi, dan tujuan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan bagi siswa berdasarkan hasil evaluasi diri; (4) menyusun program kerja jangka panjang dan jangka pendek sesuai dengan visi, misi, dan tujuan yang telah dirumuskan, yang diprioritaskan pada peningkatan mutu pendidikan; (5) mengimplementasikan program kerja; (6) melakukan monitoring dan evaluasi atas program kerja yang diimplementasikan; dan (7) menyusun program lanjutan (untuk tahun berikutnya) atas dasar hasil monitoring dan evaluasi.
- Merujuk Levacic (1995) proses MBS adalah: (1) penetapan dan atau telaah tujuan sekolah; (2) reviu keberhasilan pelaksanaan rencana tahunan sekolah sebelumnya; (3) pengembangan prioritas kerja dan jadwal waktu pelaksanaan; (4) jastifikasi program prioritas dalam kesesuaiannya dengan kontes sekolah; (5) perbaikan rencana dengan melengkapi berbagai aspek perencanaan; (6) implikasi sumber daya dalam pelaksanaan program prioritas; dan (7) pelaporan hasil.,
- Caldwell (1990) berpandangan bahwa MBS ekwivalensi dengan self-managing school. Oleh kerana itu menurut kedua pakar manajemen pendidikan tersebut proses peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah tidak lebih daripada sekadar self planning, self organization, self actuation, self coordination, self direction, dan self eveluation. Demikianlah sehingga manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah tidak ada tanpa adanya kemandirian seluruh stakeholrd sekolah. Kemandirian dalam segala hal, baik dalam menidentifikasi berbagai problema mutu sekolah, secara mandiri memecahkannya, dan mempertanggungjawabkannya segala aktivitas sekolah.
- Tenner dan DeToro (1992) dalam sebuah bukunya yang berjudul Total Quality Management memandang bahwa sebenarnya manajement mutu terpadu merupakan proses peningkatan mutu secara utuh, dan bilamana prosesnya dilakukan secara mandiri maka manajemen mutu terpadu adalah ekwivalensi dengan MBS. Lebih lanjut, kedua penulis tersebut mendeskripsikan bahwa proses manajemen mutu terpadu terdiri dari tiga tahap peningkatan mutu saecara kontinyu (three steps to continuous improvement), yaitu (1) perhatian penuh kepada pelanggan, baik pelangggan internal maupun eksternal; (2) pembinaan proses; (3) keterlibatan secara total. Dalam konteks MBS, maka model tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut:
Berdasarkan beberapa model proses MBS di atas dapat disimpulkan bahwa MBS itu pada dasarnya merupakan sebuah proses yang bersiklus. Proses MBS terdiri dari: (1) pengembangan visi sekolah; (2) evaluasi diri dalam rangka mengidentikasi berbagai kebutuhan pengembangan; (3) identifikasi kebutuhan-kebutuhan pengembangan; (4) perumusan tujuan; (5) penyusunan program peningkatan; (6) implementasi program; (7) evaluasi diri kembali untuk kepentingan peningkatan mutu berikutnya.